Ratusan
warga dari Desa Aek Kanan dan Desa Padang Matinggi, Kecamatan Sigompulon,
Kabupaten Padang Lawas Utara (Paluta) duduki lahan milik PT Tanjung Siram. Tak
hanya itu, warga juga membakar puluhan rumah karyawan perusahaan itu, Selasa
(17/1) sekira pukul 10.00 WIB. Mirisnya, saat pembakaran tidak seorangpun
polisi ditempat.
Informasi
yang dirangkum dari lokasi, Rabu (18/1) menyebutkan, Hak Guna Usaha (HGU) milik
PT Tanjung Siram telah habis tahun 2010 lalu. Sementara ratusan warga didua
desa mengakui mereka pemilik awal lahan yang dijadikan areal perkebunan kelapa
sawit tersebut.
Beberapa
karyawan yang dijumpai sedang istirahat dibawah pohon sawit menerangkan, warga
yang mengaku memiliki lahan sudah hampir sebulan lewat menginap di lokasi
dengan mendirikan gubuk. Walau awalnya telah dijaga 6 personil polisi, namun
belakangan kembali ke markas. “Tidak lama dibakarlah rumah kami,” ujar karyawan.
Walau
sebelumnya mereka telah diberitahukan warga akan pembakaran pondok, tetapi
trauma masih menghantui mereka. “Memang sebelum dibakar, malamnya kami sudah
diberitahukan agar mengosongkan rumah siangnya karena mau dibakar warga. Tapi
sampai kini kami masih ketakutan, apalagi tidak tahu mau tidur dimana kami
nanti malam,” aku karyawan beranak satu itu.
Disinggung
apa sikap yang telah dibuat pihak perusahaan, lelaki berusia dua puluh tahunan
itu mengatakan belum ada. “Belum ada bang. Kami juga bingung karena semua habis
terbakar. Tadi malam saja tidur dikegelapan. Bahkan ada keluarga lain dibawah
pohon sawit tanpa lampu dan hanya pakai tenda plastik hitam," tambah
karyawan itu.
Katanya,
suasana mencekam hingga kini masih terus menghantui mereka, terlebih dirinya
tidak memiliki sanak saudara didekat perkebunan. “Tidak sempat kami mengeluari
isi rumah, karena warga datangnya hampir seratus orang yang membakar itu.
Dengan bensinlah rumah pondok kami ini dibakar, sebahagian dirusak,” ujarnya.
Salah
seorang tokoh pemuda di Kecamatan Sigompulon mengatakan, sejak dahulu warga
sudah mengelola areal yang kini menjadi sengketa. Namun ditahun 1975 perusahaan
menanami dengan kelapa sawit. Kondisi itu sudah mereka kabarkan kepihak
pemerintah dan DPRD, namun tidak juga kunjung selesai hingga adanya aksi
spontan pembakaran. “Awalnya warga sudah ditawarkan 100 hektar, tapi belakangan
menjadi mendapat fee 5 persen dari setiap menimbang hasil dodosan. Makanya
warga merasa dipermainkan dan akhirnya timbullah aksi secara tiba-tiba, anehnya
HGU perusahaan beralamat di Rantauprapat, Kabupaten Labuhanbatu, kan
aneh," terang Ajis Ritonga.
Kapolres
Tapanuli Selatan (Tapsel) AKBP Subandriya menjawab wartawan terkait adanya
kesan kecolongan aksi pembakaran membantah. Pasalnya, jauh sebelumnya pihaknya
telah melakukan koordinasi dengan semua pihak. “Kecolongan gimana bos. Jarak
tempuh dari Polres kemari sekitar 7 jam, kita tidak kecolongan,” bantah
Subandriya.
Di
lokasi, sekitar 20 rumah milik karyawan dibakar warga, selain itu rumah manager
PT Tanjung Siram, 3 rumah staf, 1 kantor besar, 3 unit truk colt diesel
pengangkut buah sawit serta 1 unit mobil pick-up. Selain rumah yang musnah,
sebahagian juga mengalami kerusakan berat akibat tindakan anarkis warga yang
merasa tanahnya dirampas pihak perkebunan.
Untuk
mengamankan situasi yang telah berlalu, pihak Polres Tapsel menerjunkan 7 unit
truk polisi berisikan ratusan petugas yang tergabung dengan Brimob berpakaian
lengkap dengan senjata. Puluhan personil TNI dari Tapsel juga terlihat berkeliaran
di lokasi pembakaran. Sementara puluhan warga telah diamankan sebelumnya,
sedangkan puluhan lainnya menyusul ke Polres Tapsel mengendarai truk.(Tim)